"Kuliah gak penting, aktivitas organisasi jauh lebih penting dari poada sekedar mengikuti perkuliahan”. Itu merupakan salah satu pendapat yang sering dilontarkan oleh beberapa kalangan aktivis mahasiswa di sekitar kita. Dengan alasan loyalitas terhadap organisasi atau alasan lainnya kadang beberapa di antara mereka rela sering meninggalkan bangku perkuliahan dan bahkan sama sekali tidak mengikuti perkuliahan selama satu, dua atau beberapa semester demi mengikuti kegiatan organisasi mereka masing-masing.
Meninggalkan bangku perkuliahan itu adalah hal yang wajar-wajar saja jika itu hanya dilakukan beberapa kali saja. Namun jika terlalu sering dan bahkan ditinggalkan sama sekali tentunya ada resiko yang akan kita terima di belakang, karena memang segala tindakan itu mengandung resiko. Dengan mengambil keputusan untuk menjadi aktivis mahasiswa tentunya kita sudah siap menerima resiko dari keputusan tersebut. Salah satu di antara resiko tersebut adalah bertabrakannya jadwal perkuliahan dengan kegiatan organisasi. Sehingga dibutuhkan kecermatan dalam mengatur waktu dan keaktifan yang lebih dalam mengejar ketertinggalan materi perkuliahan.
Jika kita tidak mampu mengatur waktu dengan baik, tentunya ketertinggalan tersebut akan menimbulkan dampak dalam jangka yang lebih panjang. Biasanya seringnya tidak mengikuti perkuliahan dijadikan pertimbangan bagi dosen untuk mengeluarkan nilai mata kuliah, sehingga tidak jarang mahasiswa yang sering meninggalkan perkuliahan dengan alasan kesibukan organisasi menerima nasib tidak dikeluarkannya nilai sehingga harus mengulang menempuh mata kuliah tersebut di tahun depan. Ironisnya lagi setelah diulang nilai-nilainya pun hanya sekedar cukup-cukup saja sehingga IPK yang didapat pun hanya standar cukup-cukup saja.
Resiko ke depannya tentu adalah tertundanya waktu kelulusan studi karena terlalu banyaknya mata kuliah yang masih harus ditempuh sementara teman-teman seangkatan yang lain sudah mengerjakan tugas akhir dan akan segera menyelesaikan studinya. Kalau tertundanya waktu studi itu hanya satu atau dua semester itu adalah hal yang wajar-wajar saja karena memang para aktivis punya beban pikiran yang lebih dibandingkan dengan mahasiswa lain yang tidak mau aktif di organisasi kampus. Namun jika kemoloran studi itu sampai 2 atau 3 tahun dan bahkan lebih, apalagi ditambah dengan hasil studi yang hanya sekedar cukup-cukup saja tentunya itu bisa dikatakan luar biasa.
Kalau sudah sampai di situ siapakah yang merasa dirugikan? Mahasiswa sendiri tentunya -kalau bisa merasa rugi dan orang tua yang telah berjuang keras membiayai biaya studi kita. Kalaupun kita sudah bisa membiayai studi kita tanpa bantuan orang tua, semestinya andai kita dapat lulus studi tepat waktu maka biaya tersebut sudah bisa kita gunakan untuk keperluan yang lain dan pikiran kita yang kita curahkan untuk menyelesaikan studi kita pun sudah bisa kita gunakan untuk memikirkan hal yang lain.
Masing-masing di antara kita tentunya punya pendapat yang berbeda-beda tentang fenomena tersebut. Ada yang mengangap itu sebagai hal yang wajar-wajar saja dan mungkin ada yang berpendapat bahwa hal yang demikian itu semestinya bisa kita hindari. Kemungkin juga salah satu di atara kita termasuk penulis bisa jadi adalah bagian dari beberapa aktivis tersebut. Sebenarnya permasalahan tersebut semestinya dapat kita atasi karena sudah terbukti beberapa aktivis mahasiswa di sekitar kita juga mampu menunjukkan prestasi mereka dengan berhasil tertib studi, lulus tepat waktu dan berprestasi di bidang akademik dengan berhasil meraih predikat cumlaude atau bahkan menjadi wisudawan terbaik program studi maupun universitas meskipun mereka juga disibukkan dengan segudang aktivitas organisasi.
Sebenarnya salah satu keberhasilannya adalah manajemen waktu yang baik antara kesibukan kuliah dengan kesibukan organisasi. Sebagai aktivis, kita adalah pengelola organisasi tersebut. Sebagai manusia yang menjalankan organisasi tersebut tentunya kita berhak dan semestinya harus bisa mengatur waktu sebaik mungkin agar meminimalisir bertabraknya kegiatan organisasi dengan aktivitas perkuliahan.
Selain manajemen waktu yang baik, skala prioritas juga harus kita pertimbangkan untuk menentukan antara mengikuti perkuliahan atau mengikuti kegiatan organisasi jika memang terjadi benturan antara waktu pertkuliahan dengan aktivitas organisasi. Kalau kita bisa dan mau benar-benar membaca mana yang lebih penting untuk kita ikuti tentunya tidak akan sampai setiap hari kita meninggalkan perkuliahan.
Niat yang lurus dan baik dalan menjalankan organisasi serta cara-cara yang benar dalam menjalankan organisasi juga akan berpengaruh terhadap kelancaran studi kita. Jika kita berorganisasi dengan niat dalam rangka mencari ridho Allah dan organisasi tersebut kita jalankan dengan cara-cara yang benar tentunya Allah juga akan memberi kemudahan bagi kita dlam penyelesaian studi kita. Karena bahwa sanya Allah telah berjanji bahwa barang siapa yang menolong agama Allah maka Allah pastilah akan memolong orang tersebut.
Sekarang pertanyaannya sudah benarkah niat kita selama menjadi aktivis mahasiswa dan sudah benarkah jalan yang kita tempuh dalam menjalankan organisasi tersebut? Jawabanya ada pada diri kita masing-masing. Kalau menjadi aktivis mahasiswa itu kita niatkan dengan benar dan kita jalankan dengan benar kemungkinan besar ‘kemoloran’ waktu studi dapat kita hindari. Namun jika niat kita belum benar, dan cara kita kurang benar maka marilah kita luruskan niat dan kita luruskan jalan yang kita tempuh.
Akhirnya sebenarnya nasib studi kita tergantung diri kitalah yang menentukan. Mau jadi aktivis yang dapat lulus tepat waktu dengan prestasi akademik yang baik, atau ingin betah berlama-lama menyandang gelar aktivis mahasiswa. Semua pilihan itu tidak ada yang salah karena diri kita sendiri yang akan menjalaninya. Tentunya pilihan kita hari mementukan hari depan kita. (Zumrotul Masrokhah, Ketua Bidang IMMawati PC IMM Magelang 2010-2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar