Pertanyan mendasar yang perlu kita renungi adalah bahwa Sejauh manakah kita menfungsikan Al-qur’an untuk mengurus realitas ?. Al-Qur’an hanya akan menjadi tulisan tak bermakna Jika Nilai-nilai moral pada saat diturunkan 14 abad yang lalu gagal difungsikan untuk mengurus realitas. Maslah umat ”hari ini dan di sini” dalam dimensi-dimensi tertentu berbeda dengan setting sosial masyarakat islam 14 abad yang lalu. Tidak perlu kiranya kita membongkar hal-hal yang sudah paten semisal sholat, puasa, zakat dan semacamnya karena sudah final konsep dan metodenya diletakkan Rasulullah saw. Menjadi masalah serius sebut saja salah satunya adalah akselarasi kapitalisme dengan segala kekuatannya menghisap seluruh nadi kehidupan dan menjadi monster peadaban hari ini. Bagaimana dominasi sistem korporatokrasi yang membangun imperium kekuasaan untuk mengeksploitas manusiai dan alam dalam setiap jengkal area planet ini.
Relevansi Wahyu dan Realitas
Salah satu agenda kita yang nyaris terlupakan adalah menemukan titik relevansi antara islam dan kehidupan. Kita sepenuhnya yakin bahwa kitab suci Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna, segala permasalahan dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an. Pertanyaannya, kenapa semakin banyak Al-Qur’an dicetak tapi seolah tidak ada kaitannya sama sekali dengan kondisi umat hari ini? Tanpa bermaksud berspekulasi, ini karena kita gagal menemukan keterkaitan antara Al-Qur’an dengan realitas. Kita gagal menjadi sarana dialog antar doktrin langit dan realitas bumi. Keislaman kita terkadang terlalu melangit, keislaman tanpa kepedulian pada realitas bumi, singkatnya agama seolah gagal menyelesaikan persoalan manusia. Padahal Al-Qur’an di turunkan untuk memperhatikan kondisi bumi, bukan menerawang di langit bumi. Ketika Al-Qur’an gagal kita temukan relevansinya dengan realitas bumi, maka pada saat itulah Al-Qur’an telah kita jadikan mitos.
Al-Qur’an adalah kitab yang mengandung ajaran-ajaran universal tentang kemanusiaan, anti penindasan dan keadilan yang harus mampu kita fungsikan kembali. Ketika perdaban Islam ditegakkan dengan nilai-nilai Qu’ran terbukti tidak kontra produktif dengan kemjuan peradaban manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, karena Al-Qur’an bukanlah mitos dan dalam perjalanannnya Al-Qur’an tidak bertentangan dengan kepentingan duniawi manusia. Di satu sisi kita tidak mau dituduh kafir karena meragukan ayat Al-Qur’an, tapi pada saat yang bersamaan kita hanya menfungsikan agama –Al-Qur’an dan Sunnah—hanya mengrus wilayah-wilayah privat. Amar makruf nahi mungkar sering hanya dipahami dan difungsikan pada wilayah ibadah Mahdhoh yang sudah final. Hal sepeti ini tentunya tidak salah, tapi keislaman kita yang final pada urusan ibadah ritual hanya akan tetap menempatkan umat islam dipinggir peradaban, umat islam tetap akan digilas oleh keangkuahan segala jenis kemungkaran sosial.
Pada saat Al-Qur’an tidak mampu kita temukan titik relevansinya terhadap aktifitas kita dalam membangun peradaban maka pada saat itulah Al-Qur’an itu telah kita jadikan Mitos. Bukan Al-Qur’annya, tapi kitalah yang memposisikannya sebagai mitos, percaya bahwa Al-Qur’an adalah pedoman yang lurus untuk keselamatan dunia dan Akhirat tapi pada saat yang sama kita menyerah dengan tangan terangkat ke atas terhadap kezaliman dan kegamangan modernitas. Sekali lagi al-Qur’an, ditangan kita telah menjadi mitos, hanya menjadi pajangan dinding rumah dan mesjid-mesjid, keluar dari mesjid, setelah sholat dan mebaca Al-Qur’an dengan “Khusyu” kita bebas entah mengikuti petunjuk siapa dalam melakukan aktifitas dunia.
Dakwah Solutif, Menyentuh Realitas
Fenomena marginalisasi kelas pekerja—proletar dalam terminologi marxsis--oleh kekuatan pengusaha dan peguasa dalam dunia industri adalah mustahil di temukan pada seting sosial arab bahkan sampai masa akhir kejayaan intelektual islam sekitar abad 14 M. Kelahiran kembali perdaban barat ditandai dengan keberhasilan manusia menjadi subjek alam semesta yang ditandai dengan revolusi indsutri dan kemajuan teknologi meninggalkan masalah tersendiri bagi manusia. Perkembangan teknologi alat produksi yang mempercepat akumuulasi barang pada masyarakat post-industri justeru mengyebabkan manusia modern menjadi masyarakat konsumtif dan menjadikan manusia semakin terbiasa dengan budaya instan.
Meminjam analisis baudrillard bahwa konsumen pada masyarakat industri harus di setting untuk tetap selalu ada, dalam hal ini iklan dan promosi menjadi alat bantu pemasaran. Tidak selesai sampai di situ, akhirnya budaya shoping mall dan sejenisnya akibat minat konsumsi yang tinggi tidak ubahnya adalah penindasan sistematis oleh kapitalisme terhadap masayrakat konsumen itu sendiri. Masih menurut baudrillard, sejatinya bukan hanya pekerja diburuh pabrik yang dieksploitasi dan dihilangkan hak-haknya oleh kelas pengusaha, masyarakat konsumen juga adalah budak-budak kapitalsme yang harus tetap ada. Masyarakat konsumen, melalui iklan dan promosi dipengaruhi alam bawah sadarnya agar tetap memiliki minat konsumen tinggi bahkan mendikte apa yang mereka seharusnya beli, dengan kata lain mereka harus merasa membutuhkan barang-barang yang sebenrnya tidak terlalu mereka buthkan.
Tafsir tematik yang dilakukan kintowijoyo terhadap QS 2:104 tentang kewajibanm amar makruf nahi munkar serta beriman kepada Allah SWT bagaikan oase ditengah problematika keumatan dan kemanusiaan yang tak berkesudahan. Amar makruf = humanisasi dan emansipasi, nahi munkar = liberasi dan tu’minunabillah = transedensi adalah tafsir kontekstual terhadap QS 2:104 yang radikal, berani, bertanggung jawab dan tentunya solutif terhadap permasalahan “hari ini dan di sini”. Hari ini dan di sini adalah istilah yang di pakai untuk menggambarkan bahwa setiap waktu dan tempat di mana umat hidup, mempunyai setting sosial yang berbeda-beda yang tentunya membutuhkan metode penyikapan yang berbeda-beda pula. Terlalu takabur kiranya jika mengatakan bahwa elaborasi humanisasi, liberasi dan transendensi kuntowijoyo akan kita klaim sebagai tafsir yang paling unggul dan final yang tak tergantikan terhadap ayat QS 2:104 di atas. Bagaimanapun, hasil pemikiran manusia sekalipun hasil tafsir terhadap kitab suci, tetaplah tidak terlepas dari keterbatasn karena tafsir terkadang hasil respon terhadap setting sosial tertentu. Kurang arif jika kita menjadikan tafsir yang merupakan produk akal manusia dijadikan berhala yang tak bisa di edit sesuai kebutuhan umat dalam pentas-pentas sejarah di mana ia dilahirkan.
Sebagaimana tema sentral kita bahwa, jika ingin Al-Qur’an kita fungsikan mampu menyelesaikan permasalahn atau realitas kekinian maka elaborasi kuntowijoyo di atas relatif bisa dianggap dapat menyelesaikan problem keumatan dan kemanusiaan. Dakwah yang dimaknai IMM tentunya tidak boleh berhenti pada persoalan mengajak orang sholat, puasa, zikir dalam masjid dan ibadah-ibadah ritual semacamnya. Amar makruf tidak cukup dengan ajakan mari kita beriman kepada Allah serta kerjakanlah sholat supaya masuk surga, atau nahi munkar dengan melarang orang supaya jangan minum minuman keras karena itu adalah amalan ahli neraka. Melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah mulai dari opini di media massa, kritik di ruang-ruang seminar dan diskusi, sampai pada aksi turun jalan menyuarakan hak-hak kaum marjinal merupakan bagain dari dakwah amar makruf nahi munkar “Dan kepada penduduk madyan, kami utus syuaib, saudara mereka sendiri. Dia berkata wahai kaumku! Sembahlah Allah tidak ada sembahan bagimu selain dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang lain. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah diperbaiki dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman” (QS: 7:85)
Setidaknya ada 3 tema sentral menjadi peringatan Allah SWT dalam ayat di atas yaitu: sembahlah Allah, sempurnakan takaran dan timbangan, janganlah berbuat krusakan. Jika ayat di atas hanya dipaksa untuk menegur masyarakat madyan pada masanya maka paling maksimal ayat itu hanya melarang kita untuk jangan curang dalam menimbang barang ketika berdagang dan janganlah kita melakukan peladangan liar, jangan berprilaku seks menyimpng serta jangan pahat batu sembarangan, karena kgiatan kerusakan semacam itulah yang mungkin dilakukan oleh masyarakat madyan masa itu. Lantas bagaimana dengan kecurangan perdagangan dalam skenario globalisasi yang cenderung menguntungkan negara kaya? Apakah karena alasan teologis kita akana melakukan perlawanan terhadapa kejahatan korportokrasi dengan segala kaki tanggnnya hanya karena Qur’an dbarangkali tidak eksplisit menegurnya. Kejahatan kapitalisme dan korporatokrasi tidak disingung dalam tafsir klasikbukan brarti islam tidak mererpon hal tersbut.
Sembahlah Allah dalam ayat di atas adalah pesan tauhid yag menjadi pesan semua nabi kepada umatnya. Allah dijaidiakn satu-satunya sembahan oelh seluruh mahluk artinya tidak boleh manusia manapun mencoba “menkudeta posisi Tuhan” dengan sikapnya menjadi penindas dan berbuat tidak adil di muka bumi sehingga dia menjadi berhala-berhala baru yang merenggut sisi-sis kemanusiaan anusia lain.
Pesan-pesan kemanuisiaan dalam QS. 7:85 diatas datang sesudah perintah untuk mngerahkan segala ketaatan kepada Allah SWT. Akselarasi kapitalisme dalam wujud perjanjian perdagangan yang tidak adil dalam ekonomi globalisai juga melanggar prisnsip “faauful kaila wal mizan/sempurnakanlah takaran dan timbangan” dalam ayat di atas. Perjanjian perdagangan yang menyuruh berkompetisi dalam perdagangan bebas antara negara yang siap infrastruktur pendukungnya dengan negara yang tidak siap infrastrukturnya sehingga mengakibatkan semakin tertinggalnya negara miskin dari persaingan sesungguhnya ada prinssp kecurangan di dalamnya, sebut saja di Indonesia perjanjian ACFTA misalnya. Kejahatan Korporatokrasi dengan segala elemen pendukungnya yang terdiri dari koroporasi besar, pemerintahan negara penjilat, kekuatan militer negara penjajah sampai intelektual pengabdi kekuasaan dan media massa pro penindasan--sebagaiamana yang dialami rakyat Irak dan Libya karena pendudukan militer serta terkurasnya kekayaan alam negara berkembang oleh korporasi besar misalnya--merupakan kerusakan berju-juta kali lipat jika dibandingkan dengan kerusakan yang diperbuat masyarakat tradisinonal dalam setting masyarakat Madyan. Wallahu ‘alam bissawab.
Sumber : http://imm.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar